Oleh: Ulin Nikmatul Haya

Mahasiswa Magang MBKM_Prodi Agroekoteknologi Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya

Gambar:  Kultur Jaringan Arsenik Ramin (Putri et al., 2017)

            Aktivitas manusia secara tidak langsung telah mendorong terjadinya perubahan iklim serta hilangnya keanekaragaman hayati yang belum pernah terjadi sebelumnya. Keadaan tersebut mendesak warga dunia untuk duduk bersama dan mencari sebuah solusi pada forum-forum global seperti PBB, KTT, G20, dan masih banyak forum global lainnya.  Hilangnya keanekaragaman hayati tersebut telah mengakibatkan pengurangan sekitar 50% biomassa tanaman dan sekitar 40% tanaman berada dalam status terancam punah. Masalah tersebut dapat diatasi dengan memastikan tersedianya keanekaragaman hayati dan genetik untuk generasi sekarang dan yang akan datang. Salah satu bentuk solusi yang ditawarkan untuk menyediakan keanekaragaman hayati dan genetik tersebut yaitu dengan melakukan perbanyakan secara vegetatif melalui teknik kultur jaringan. Kultur jaringan merupakan salah satu bentuk bioteknologi yang semula diperkenalkan pada tahun 1902 oleh Gottlieb Habberland dengan percobaannya melakukan isolasi sel tunggal in-vitro bagian daun ke dalam sebuah media.

Kultur jaringan sendiri diartikan sebagai sebuah metode dalam rangka mengisolasi bagian tanaman baik berupa sekelompok sel maupun jaringan yang ditumbuhkan dalam kondisi aseptik sehingga bagian tanaman tersebut mampu memperbanyak diri menjadi tanaman lengkap dan mewarisi sifat yang sama seperti induknya (Harahap et al., 2019). Dari sinilah muncul sebuah gagasan untuk mulai mengimplementasikan perbanyakan tanaman hutan dengan kultur jaringan demi mempertahankan keanekaragaman genetik tanaman hutan. Keanekaragaman hayati yang terdapat di hutan telah mencatatakan Indonesia sebagai negara dengan tingkat keanekaragaman hayati tertinggi di dunia yang mencakup 11 persen spesies tumbuhan di permukaan bumi, 10 persen spesies mamalia, dan juga 16 persen dari total spesies burung di dunia (Wiriadinata, 2018). Keberadaan tanaman hutan sendiri sangatlah penting sebagai life support system yang menyangga berbagai sektor seperti pertanian, peternakan, perikanan, hingga industri manufaktur melalui perannya dalam menjaga siklus hidrologi. Dengan adanya kultur jaringan, menjadi jalan untuk menghindari kepunahan spesies tanaman melalui kegiatan pemuliaan plasma nutfah tanpa membutuhkan lahan yang luas (Saifuddin, 2016). Gagasan tersebut sekaligus memberikan tanda tanya besar, apakah kultur jaringan memang tepat jika diaplikasikan pada tanaman hutan? Seperti apakah tantangan dan peluang yang akan dihadapi dengan adanya implementasi tersebut?

Tantangan dan Peluang Implementasi Kultur Jaringan Tanaman Hutan

Keberadaan tanaman hutan semakin terancam seiring dengan maraknya aktivitas manusia yang menyebabkan biodiversitas hayati di hutan semakin berkurang. Pemerintah Republik Indonesia sendiri telah mengatur UU No. 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan: “Perlindungan hutan adalah usaha untuk mencegah dan membatasi kerusakan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan, yang disebabkan oleh perbuatan manusia, ternak, kebakaran, daya-daya alam, hama dan penyakit, serta mempertahankan dan menjaga hak-hak negara, masyarakat dan perorangan atas hutan, kawasan hutan, hasil hutan, investasi serta perangkat yang berhubungan dengan pengelolaan hutan” (Desmania et al., 2018). Maka dari itu, dibutuhkan sebuah upaya untuk melindungi keanekaragaman hayati dan genetik tanaman hutan melalui kultur jaringan.

Secara umum, kultur jaringan tergolong sebagai perbanyakan tanaman secara vegetatif, dimana dari sisi kehutanan perbanyakan ini memiliki banyak manfaat yang meliputi (Sulichatini, 2016): (1) Keuntungan genetik diperoleh secara maksimum apabila digunakan dalam rangka peremajaan (2) Dapat digunakan untuk melakukan perbanyakan genotipa-genotipa unggul yang diinginkan untuk tujuan khusus seperti pemurnian dan kebun benih (3) Preservasi genotipa unggul dalam arsip klonal maupun bank klon (4) Uji klonal digunakan untuk melakukan penilaian dari genotipa-genotipa dan interaksinya. Akan tetapi, perbanyakan dengan cara ini memiliki kelemahan seperti (1) Dibutuhkannnya teknik budidaya yang intensif seperti pemupukan, penyiangan, dan pengendalian Organisme Penggangu Tanaman untuk menghasilkan pertumbuhan yang maksimal (2) Apabila lokasi yang dipilih tidak sesuai dengan syarat pertumbuhan tanaman akan menyebabkan pertumbuhan tanaman hutan tidak optimal karena perbanyakan klon sangat berinteraksi dengan lingkungan (3) Keragaman genetik yang sama menyebabkan tanaman yang terdapat masalah dapat meularkan dengan mudah pada tanaman yang lainnya (4) Tidak mampu dikembangkan pada daerah yang memiliki intensitas angin kuat karena sistem perakaran tanaman hasil perbanyakan vegetatif cenderung lemah dan mudah roboh.

Apabila ditinjau dari sisi ekonomi, kultur jaringan membutuhkan biaya yang lebih banyak dibandingkan perbanyakan secara konvensional. Akan tetapi mampu memperbanyak tanaman secara massal, memperbaiki sifat tanaman, hingga dapat digunakan untuk memproduksi senyawa metabolit sekunder serta konservasi tanaman (Puspitasari et al., 2022). Besarnya biaya yang dibutuhkan untuk kultur jaringan terjadi dikarenakan dalam produksi bibit kultur jaringan memiliki syarat pokok yang dituntut dilaksanakan di laboratorium dengan berbagai fasilitas lengkap dan perlatan yang mahal (). Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh (Herawan et al., 2015), eksplan tanaman hutan tidak dapat diambil secara langsung dari tanaman induk seperti pada umumnya, melainkan berasal dari terubusan seperti cangkok, stek, maupun melalui perendaman cabang. Eksplan yang digunakan harus muda atau bersifat juvenile, namun daya pertumbuhan tunas muda akan hilang jika ujung tunas dan akar memiliki jarak yang semakin jauh. Pertumbuhan tanaman hutan hasil kultur jaringan memberikan pengaruh nyata terhadap manipulasi lingkungan seperti pemberian pupuk maupun variasi ukuran lubang tanam (Sudrajat dan Bramasto, 2009). Regenerasi perakaran tanaman hutan yang terdapat di alam maupun secara in vitro memiliki perbedaan sehingga pengembangan aklimatisasi tanaman hutan mengalami keterbatasan dan membutuhkan ketersediaan hara yang tinggi serta kondisi lingkungan yang terkontrol (Putri dan Herawan, 2018). Selain itu, perbanyakan dengan kultur jaringan sangat rentan dengan permasalahan kontaminasi yang tinggi sehingga memerlukan media yang steril dan bebas dari patogen seperti bakteri, virus dan cendawan serta terbebas dari kontaminan lain seperti debu dan kotoran. Akibatnya, diperlukan kegiatan sterilisasi eksplan menggunakan berbagai perlakuan berupa clorox, bakterisida, serta fungisida (Damayanti et al., 2021).

Meskipun terdapat tantangan ketika mengimplementasikan kultur jaringan pada perbanyakan tanaman hutan, kultur jaringan dirasa masih tepat untuk dilakukan mengingat teknik ini dapat menyelamatkan banyak spesies tanaman hutan yang terancam punah akibat aktivitas manusia seperti deforestrasi maupun climate change. Teknik kultur jaringan menjadi alternatif dalam memproduksi tanaman hutan yang berada dalam status konservasi dengan skala besar dan dapat dijadikan sebagai plasma nutfah atau sumber genetik di masa yang akan datang (Melati et al., 2021). Selain itu, kebanyakan benih tanaman hutan memiliki proses perkecambahan yang berlangsung sangat lambat dikarenakan memiliki tingkat impermiabilitas yang tinggi terhadap air dan udara karena memiliki lapisan lilin serta lapisan kulit benih yang keras (Nursyamsi, 2016). Implementasi kultur jaringan seakan menjadi jawaban dan angin segar dari semua permasalahan yang dihadapi ketika melaksanakan perbanyakan tanaman hutan. Meski dalam prosesnya teknik ini masih membutuhkan banyak penyesuaian dan penelitian terbarukan. Kultur jaringan telah menjadi harapan untuk mengembalikan kembali napas dunia dan mempertahankan biodiversitas di bumi. “Berawal dari satu eksplan, menjadi satu kawasan hutan, hanya dengan kultur jaringan”.

Daftar Pustaka:

Damayanti, L., N. F. Anggraini., N. S. Lestari., R. N. Sunarti., dan I. Apriani. 2021. Optimasi Teknik Sterilisasi Fungisida Benstar dan Dithane M-45 terhadap Kultur Jaringan Tanaman Akasia (Acacia crassicarpa) secara In Vitro. In Prosiding Seminar Nasional Sains dan Teknologi Terapan, 4(1): 137-146).

Desmania, D., S. P. Harianto., dan S. Herwanti. 2018. Partisipasi Kelompok Wanita Cinta Bahari Dalam Upaya Konservasi Hutan Mangrove. Jurnal Sylva Lestari, 6(2): 28-35.

Harahap, F., A. Hasanah., H. Insani., N. K. Harahap., M. D. Pinem., S. Edi dan R. Silaban. 2019. Kultur Jaringan Nanas. Media Sahabat Cendekia.

Herawan, T., M. Na’iem., S. Indrioko., dan A. Indrianto. 2015. Kultur Jaringan Cendana (Santalum album L.) Menggunakan Eksplan Mata Tunas. Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan9(3):

Melati, C. A., E. Handayani., dan T. Herawan. 2021. Pengaruh Berbagai Konsentrasi Glutamin terhadap Pertumbuhan Tunas Aquilaria Malaccensis Lamk. secara Kultur Jaringan. Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan, 15(2): 145-151.

Nursyamsi, A. 2016. Teknik skarifikasi benih kayu kuku (Pericopsis mooniana Thw) untuk mematahkan dormansi melalui kultur jaringan. In Prosiding Seminar Nasional Biologi, 2(1): 5-10.

Puspitasari, R., I. Karyaningsih., dan D. Deni. 2022. Perbandingan Studi Kelayakan Usaha Pembibitan Tanaman Secara Konvensional Dan Kultur Jaringan. Wanaraksa16(01): 22-29.

Putri, A. I., T. Herawan., P. Prastyono., dan L. Haryjanto. 2017. Pengaruh Teknik Sterilisasi Explan Terhadap Tingkat Perolehan Kultur Jaringan Aksenik Ramin (Gonystylus Bancanus). Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan11(2): 131-138.

Putri, A. I., dan T. Herawan. 2018. Regenerasi Perakaran Plantlet In Vitro dan Ex Vitro pada Kultur Jaringan Cendana (Santalum album). Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan12(2): 143-150.

Saifuddin, F. 2016. Pengaruh Indole Acetic Acid (IAA) Terhadap Hasil Berat Basah Akhir Plantlet Kultur Jaringan Tanaman Jernang (Daemonorops Draco (Willd.) Blume). Jurnal Edukasi dan Sains Biologi5(1): 14-17.

Sudrajat, D. J., dan Y. Bramasto. 2009. Pertumbuhan Jati (Tectona grandis Linn. f.) Asal Kultur Jaringan Pada Beberapa Ukuran Lubang Tanam dan Dosis Pupuk Kandang di Parung Panjang, Bogor, Jawa Barat. Jurnal Penelitian Hutan Tanaman6(4): 227-234.

Wiriadinata, W. 2018. Kehutanan di Indonesia Dalam Perspektif Ekonomi, Ekosistem dan Hukum (Forests in Indonesia in Perspective Economic, Legal and Ecosystem). Jurnal Legislasi Indonesia9(1): 151-162.

Serba-Serbi Kultur Jaringan Tanaman Hutan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

× Chat WA Pelayanan